Wajar sebagian masyarakat terutama yang anti padanya bilang Jokowi itu presiden boneka. Entah dia itu Pinokio, Si Unyil, Barbie Doll dsb. Kenapa? Pertama dia bukan pemimpin partai. Dia tidak punya kekuatan yang super duper untuk memimpin negeri, kedua, konsekuensi dari itu, dia harus rela menjadi petugas partai oleh partai pengusungnya yaitu PDI Perjuangan.
Hal yang lebih menjelaskan posisinya sebagai petugas partai, yaitu jika Megawati bilang A--dan meskipun kebetulan berseberangan dengan opini publik--dia harus bilang A, meskipun hati kecilnya yang merakyat mengatakan B, C dan seterusnya.Jokowi sebenarnya bukan presiden boneka jika dia mau, tapi risikonya besar. Dia ragu menciptakan sejarah menjadi orang kuat, meskipun didukung mayoritas rakyat Indonesia. Budaya kita adalah budaya santun, dia tidak ingin kita terpecah belah, meskipun untuk suatu perubahaan besar perlu pengorbanan.
Kelihatan sekarang, KPK dipecundangi, polisi lebih bebas "berkreasi", dan Jokowi seakan tidak berkutik, hanya menampakkan emosi tanpa aksi. Jokowi yang sudah resmi jadi presiden seakan tidak memanfaatkan kekuasaan itu untuk perubahaan yang diinginkan masyarakat. Padahal kalau mau dia bisa. Inilah konsestan adu nyali yang lebih mengerikan daripada menunggu tempat kramat dari jam 11 malam hingga subuh.
Jokowi presiden Indonesia, boneka yang galau yang terlalu berani berisiko dan terjebak dalam sistem, ironisnya kini malah berhadapan dengan banyak boneka. Mereka ada disegala lini kekuasaan dan sudah mendarah daging di sana. Para oportunitis yang mementingkan diri sendiri dan penggemar ABS dan AIS (Asal Bapak Senang dan Asal Ibu Senang). Orang-orang pintar yang banyak di teori di acara Talk Show Tivi dan suka memutar-mutar fakta menghabiskan banyak biaya dibanding di Arab sana yang langsung memotong tangan maling dan memenggal kepala pembunuh--bahasa halusnya adalah pengedar narkoba dan koruptor.
Jadi sekedar saran yang sama sekali bukan aneh gila, Pak Jokowi, sebagai seorang yang seharusnya bukan presiden boneka, Bapak perlu kembali lagi flashback ke panggung di Monas berorasi sebagai "orang kuat", atau pada saat Bapak di arak menuju Monas atau pada saat berjumpa dengan para sukarelawan dan rakyat yang kekuatannya itu melebihi kekuatan para elit dan status quo yang hanya memikirkan bagaimana menyelematkan assetnya. Saat itu segenap impian dan harapan masyarakat tertuju pada Anda. Jangan biarkan kodok, kutu dan kecoa, dan terutama tikus dan buaya
bilang, "Wani Piro?"
Hal yang lebih menjelaskan posisinya sebagai petugas partai, yaitu jika Megawati bilang A--dan meskipun kebetulan berseberangan dengan opini publik--dia harus bilang A, meskipun hati kecilnya yang merakyat mengatakan B, C dan seterusnya.Jokowi sebenarnya bukan presiden boneka jika dia mau, tapi risikonya besar. Dia ragu menciptakan sejarah menjadi orang kuat, meskipun didukung mayoritas rakyat Indonesia. Budaya kita adalah budaya santun, dia tidak ingin kita terpecah belah, meskipun untuk suatu perubahaan besar perlu pengorbanan.
Kelihatan sekarang, KPK dipecundangi, polisi lebih bebas "berkreasi", dan Jokowi seakan tidak berkutik, hanya menampakkan emosi tanpa aksi. Jokowi yang sudah resmi jadi presiden seakan tidak memanfaatkan kekuasaan itu untuk perubahaan yang diinginkan masyarakat. Padahal kalau mau dia bisa. Inilah konsestan adu nyali yang lebih mengerikan daripada menunggu tempat kramat dari jam 11 malam hingga subuh.
Jokowi presiden Indonesia, boneka yang galau yang terlalu berani berisiko dan terjebak dalam sistem, ironisnya kini malah berhadapan dengan banyak boneka. Mereka ada disegala lini kekuasaan dan sudah mendarah daging di sana. Para oportunitis yang mementingkan diri sendiri dan penggemar ABS dan AIS (Asal Bapak Senang dan Asal Ibu Senang). Orang-orang pintar yang banyak di teori di acara Talk Show Tivi dan suka memutar-mutar fakta menghabiskan banyak biaya dibanding di Arab sana yang langsung memotong tangan maling dan memenggal kepala pembunuh--bahasa halusnya adalah pengedar narkoba dan koruptor.
Jadi sekedar saran yang sama sekali bukan aneh gila, Pak Jokowi, sebagai seorang yang seharusnya bukan presiden boneka, Bapak perlu kembali lagi flashback ke panggung di Monas berorasi sebagai "orang kuat", atau pada saat Bapak di arak menuju Monas atau pada saat berjumpa dengan para sukarelawan dan rakyat yang kekuatannya itu melebihi kekuatan para elit dan status quo yang hanya memikirkan bagaimana menyelematkan assetnya. Saat itu segenap impian dan harapan masyarakat tertuju pada Anda. Jangan biarkan kodok, kutu dan kecoa, dan terutama tikus dan buaya
bilang, "Wani Piro?"
Komentar